Yang Tersembunyi dari ADHD



Jika kamu sering merasa kebingungan saat menghadapi anakmu yang ADHD, I tell you something, you’re not alone. Saya begitu. Dan begitu pula jutaan orangtua di seluruh dunia yang hidup bersama anak ADHD.  Mengapa? Karena ADHD tidak pernah mudah dan sederhana. Apa pun yang berkaitan dengan tumbuh kembang dan mental manusia, pastilah rumit. Meski saya selalu menyadari itu, sebuah tulisan yang menggambarkan kondisi ADHD pada anak kita ibarat gunung es di lautan, tetap membuat saya harus berfikir lagi. Betapa banyak hal yang mungkin telah saya abaikan karena tidak terlihat di permukaan.
Bayangkan sebongkah gunung es di lautan. Apa yang kita lihat di permukaan hanyalah 10% dari seluruh volumenya. 90% sisanya berada di bawah permukaan laut yang tidak nampak oleh mata kita. Sebuah kapal laut yang melintas dapat berakhir tragis jika hanya fokus pada bongkahan yang terlihat. Dia mungkin dapat menghindari bongkahan yang terlihat, tapi tidak terselamatkan dari robekan lambung kapal akibat menabrak apa yang ada di bawah permukaan. Akhirnya dia tenggelam, seperti cerita yang dialami oleh kapal pesiar Titanic.
Begitulah tulisan tersebut menganaloglikan ADHD sebagai gunung es tersebut dan kita (orangtua) sebagai kapal yang berupaya mengangkut anak kita dengan selamat.
Kesulitan berkonsentrasi, hipersensitif, hiperaktif, dan sikap impulsive yang kerap kita liat dengan mudah pada anak kita merupakan gejala klasik ADHD yg jelas. Sementara itu, terdapat banyak kondisi / gejala sekunder yang tidak nampak jelas namun sama pentingnya untuk ditangani. Bahkan, mungkin lebih penting dan kompleks. Gejala yang seringkali disalahartikan sebagai sifat buruk dan karakter yang lemah belaka.
Apa sajakah kondisi anak ADHD yang kadang terlewatkan oleh kita dalam memahami mereka? Mari kita coba lihat satu persatu.
1.       Rasa percaya diri dan penghargaan diri yang rendah
Bagi anak tanpa hambatan tumbuh kembang pun, tidak semuanya bisa memiliki rasa percaya diri maupun self esteem yang tinggi. Jadi dapat kita bayangkan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang jauh lebih berat bagi anak ADHD. Setiap hari bisa jadi adalah perjuangan bagi mereka untuk memahami dirinya sendiri, apalagi untuk bisa memupuk rasa percaya diri. Disinilah peran kita sebagai orang tua untuk pintar-pintar member kesempatan bagi anak ADHD kita untuk bersinar dengan kemampuannya yang ada. Memahami target yang feasible, sehingga dia mampu meraihnya. Pencapaian-pencapaian kecil yang akhirnya bisa membuat dia merasa lebih percaya diri.
Melatih anak untuk bisa menerima kekalahan memang penting, tapi untuk kasus anak ADHD menurut saya ‘memastikan’ dia bisa memperoleh kemenangan juga tak kalah penting.

2.       Kedewasaan mental yang tertunda.
Pendapat klinis menyatakan bahwa anak ADHD mengalami keterlambatan kedewasaan mental sekitar 2-3 tahun dibanding sebayanya. Jika dia berumur tujuh tahun, maka usia mentalnya berkisar di 4-5 tahun. Itulah sebabnya tahun pertama di sekolah dasar kerap menjadi tahun yang berat bagi anak ADHD dan orangtua-nya. Karena secara mental dia belum siap untuk menerima aturan maupun pembelajaran untuk anak seusianya. Keterlambatan kedewasaan mental tersebut terlihat dari kemampuan sosialiasi, pengendalian emosi dan pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan usianya.
Hal ini harus selalu kita ingat saat kita berusaha memberikan pengetahuan atau keterampilan baru kepada anak ADHD kita. Bahwa di balik tubuhnya yang sepantar dengan teman-teman seusianya, terdapat cara berfikir yang jauh lebih kekanakan.

3.       Kaku / tidak lentur dalam bersikap
Sikap keras kepala yang kerap identik dengan anak ADHD, sebetulnya tidak sepenuhnya sesuatu yang mereka niatkan atau sadari.  Ketidak lenturan itu melainkan merupakan akibat dari tidak adanya kemampuan melihat masalah secara luas pada anak ADHD. Mereka cenderung melihat hanya ada satu cara untuk bersikap terhadap satu masalah.  Mereka juga cenderung tidak bisa mengatur emosi mereka. Jadi, sesungguhnya saat anak kita bersikap tidak lentur itu menunjukkan mereka memiliki masalah yang lebih dalam dari sekedar keras kepala.

4.       Intensitas emosi
Saat anak ADHD kita bersikap kaku, tidak fleksibel atau pun mandeg, maka biasanya mereka akan cenderung untuk menunjukkan intensitas emosi yang cukup tinggi. Ketika anak kekurangan atau lemah dalam hal kesadaran emosi, pengendalian diri, dan ambang frustrasi , maka hal tersebut dapat berakhir dengan emosi-emosi yang ekstrim. Emosi ekstrim seperti marah yang sangat, sedih atau senang yang berlebihan.  Misalnya bagaimana anak ADHD menunjukkan intensitas kesedihan yang sama untuk bangun kesiangan dengan kehilangan barang kesayangannya.

5.       Ketidakteraturan Emosi
Hampir semua anak ADHD memiliki kesulitan dalam menata respon emosi mereka. Seringkali mereka memberikan respon emosi yang tidak tepat dengan situasi yang ada, atau tidak sesuai dengan usia mereka. Anak ADHD kemungkinan memiliki cara berbeda dalam mengekspresikan perasaan mereka, atau juga kemampuan berkomunikasi yang buruk.  Apa pun penyebab utamanya, ketidakteraturan emosi ini memberikan dampak yang besar terhadap bagaimana mereka berfungsi di rumah, di lingkungan keluarga, di sekolah dan saat melakukan interaksi sosial dengan kelompok sebaya mereka.
Mungkin kita pernah mengalami bagaimana kita merasa tidak enak saat anak kita yang berumur 7 tahun tidak bisa berhenti tertawa melihat temannya jatuh dari sepeda dan menangis. Orang sekitar memandangnya sebagai sikap yang kasar dan tidak sopan. Sebetulnya, pada saat itu anak kita tidak bermaksud seperti itu. Melainkan karena dia tidak bisa memilah respon emosi yang tepat. Sejujurnya, kita sendiri pasti pernah merasa lucu melihat kejadian seseorang jatuh dari sepeda atau tempat duduk seperti pada komedi slapstick. Tapi kita punya kemampuan untuk mengendalikan respon kita di public untuk tidak tertawa.

6.       Kondisi  psikologis lain yang menyertai
Diperkirakan lebih dari 60% penyandang ADHD memiliki satu atau lebih kondisi tambahan (ikutan). Kondisi tersebut antara lain termasuk gangguan mood, kecemasan, autism, gangguan belajar, kemampuan eksekusi yang buruk, gangguan perilaku dan lainnya.
Kondisi tambahan ini bisa jadi sesuatu yang penting dalam upaya kita memahami anak ADHD kita. Sehingga kita mampu membantu mereka dengan efektif. Ada kalanya kita merasa enggan menambahkan diagnose lain di daftar kondisi anak kita. Tapi, kita tidak bisa menyangkal bahwa hal itu ada dan berpengaruh.

7.       Kemampuan yang Tertinggal dari sebayanya
Harus kita ingat bahwa ADHD adalah kelainan tumbuh kembang akibat perbedaan fisiologis pada otak. Sehingga dapat dimengerti jika hal tersebut berpengaruh pada berbagai kemampuan yang tampak tertinggal / kurang dibandingkan sebayanya. Kelemahan yang hampir semua anak ADHD memilikinya biasanya mencakup manajemen waktu, tolerasi terhadap kendala / mudah sekali frustrasi, perencanaan dan pengaturan, kendali emosi, pemecahan masalah, kemampuan sosial dan cara berfikir yang fleksibel. Sebagian dari kekurangan tersebut dapat diperbaiki dan dilatih, sedangkan ada pula yang harus menjadi perjuangan seumur hidupnya.

8.       Kelemahan dalam Fungsi eksekutif
Kemampuan fungsi eksekutif mencakup kemampuan membuat rencana dari hari ke hari, menata hal, melaksanakan tugas, mengatur emosi serta mengatur waktu. Ketika rangkaian kemampuan fungsi eksekutif itu tidak ada / kurang, maka akan banyak tugas sehari-hari yang berantakan. Jadi, bukan hanya kurang kemampuan berkonsentrasi saja yang membuat anak ADHD kesulitan menyelesaikan tugas atau mudah melupakan sesuatu.  Dia juga kesulitan untuk menentukan mana yang lebih penting untuk dikerjakan. Misal, di tengah upayanya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, tiba-tiba kita menemukan anak kita sudah asik dengan sebuah kotak susu bekas. Selain karena kotak susu itu tampak lebih menarik dari lembaran PR, anak kita kesulitan memutuskan untuk berkarya dengan kotak susu itu setelah PR selesai.

9.       Buta waktu / time blindness.
Anak ADHD memiliki kesulitan untuk memahami konsep waktu. Kemungkinan besar tidak punya sense tentang berapa lama sebuah hitungan waktu berjalan. Misal, dia tidak bisa mengukur dengan perasaan berapa lama 10menit itu atau 30menit itu. Anak kita mungkin dapat mengerti bahwa dia harus melakukan suatu tugas dengan cepat, tapi tetap saja dia tidak merasa yakin berapa waktu yang dia miliki untuk melakukan tugas tersebut.
Saat kita atau gurunya mengatakan ‘ Kumpulkan saat bel pulang,’ atau  ‘Kamu punya waktu satu jam untuk mengerjakannya,’ bagi anak ADHD dengan time blindness kalimat tersebut terasa abstrak.
Ketidakmampuan merasakan waktu ini juga berpengaruh kepada kemampuan anak ADHD untuk dapat menunggu sesuatu, menahan respon, dan dia akan merasa bahwa mengerjakan sebuah tugas (terutama yang dia tidak suka) terasa lama sekali bak ‘selamanya’.


10.   Meltdown
Kondisi meltdown bisa dikatakan berbeda dengan tantrum. Kita sudah sering mendengar istilah tantrum untuk menggambarkan kondisi dimana anak menangis merengek luar biasa agar dia memperoleh apa yang dia mau. Tindakan ini dilakukan oleh anak biasanya secara sadar agar orangtua menuruti kehendaknya. Jadi secara umum, saat melakukan itu si anak menyadari tentang keselamatan dirinya dan tidak akan melakukan tindakan / gerakan yang membahayakan dirinya sendiri. Tantrum akan berhenti begitu anak memperoleh apa yang diinginkannya.
Kondisi meltdown dapat dipicu oleh tantrum yang terlalu lama, stimulasi sensori yang berlebihan, merasa tidak dipahami, merasa tidak digubris atau kondisi preserverasi (tidak mampu pindah dari satu sikap ke sikap lain sekalinya sudah memulai). Saat meltdown, anak tidak memiliki kesadaran atas keselamatan diri atau rasionalisasi lainnya. Berbeda dengan tantrum, meltown tidak akan lantas berhenti saat anak mendapat apa yang awalnya dia inginkan.

11.   Ketidakcocokan dengan Sistem Sekolah klasik.
Pendidikan umum disekolah biasanya dirancang untuk menegakkan kepatuhan dalam pembelajaran. Para siswa harus duduk diam, tenang, dan terus memperhatikan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Guru akan memberikan tugas dan dia berharap semua siswa akan menganggap tugas tersebut penting sehingga mereka termotivasi untuk berkompetisi menjadi yang terbaik. Guru juga mengharapkan siswa memiliki motivasi internal yang cukup.
Para siswa diminta untuk bertanggungjawab dan dapat diandalkan terhadap diri mereka sendiri dalam proses akademik ini.  Harapan-harapan itu cukup banyak, bahkan bagi anak tanpa ADHD. Dan ini menjadi berkali-kali lipat lebih berat bagi anak ADHD karena tidak satu pun dari harapan tersebut mempertimbangkan hambatan yang dimiliki anak ADHD.
Pada dasarnya, sistem belajar klasik seperti disebutkan di atas membuat anak kita kesulitan untuk bisa bertahan.  Hal tersebut harus disadari oleh kita sebagai orangtua anak ADHD.
Kita tidak bisa lantas berharap anak kita bisa fit in dengan pendidikan mainstream seperti itu. Mungkin ini saatnya bagi kita untuk mendefinisikan ulang apa itu keberhasilan akademis untuk anak kita. Bahwa itu tidak harus selalu sama bagi setiap anak.






Sumber utama informasi dalam tulisan ini berasal dari tulisan William Dodson, M.D










Komentar