Sekolah; Yang Hilang bagi Dia






Bulan Februari  bagi saya selalu mengingatkan pada mulai sibuknya sebagian besar orangtua mencari sekolah bagi anaknya. Saya sendiri mengalami tahun-tahun yang luar biasa saat mencari sekolah untuk anak sulung saya. Luar biasa; kata lain dari panjang, melelahkan dan kadang melumpuhkan. Berkali-kali , tidak hanya satu kali. Saat itu mencari sekolah untuknya, ibarat memiliki potongan puzzle berbentuk lingkaran sementara yang tersedia hanya kotak berbentuk kubus.  Apakah saya harus memahat bentuk lingkaran itu menjadi kubus. Atau menerima bahwa tidak ada kotak bagi anak saya.

Anak saya sejak usia dua setegah tahun didiagnosa memiliki ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder). Secara sederhana dapat dipahami sebagai kondisi gangguan konsentrasi akibat kinerja indera yang tidak optimal. Untuk kasus anak saya, hal ini membuat dia mengalami ketakutan yang berlebihan atas rangsang bunyi dan visual tertentu. Terlalu peka terhadap rangsang ayun karena kinerja vestibular yang tidak sesempurna anak pada umumnya. Permainan ayunan yang biasanya menyenangkan bagi anak-anak, menjadi hal yang menakutkan. Bahkan bunyi decit rantai besi ayunan, cukup untuk menjadi pemicu dirinya membayangkan rasa takut itu.

Istilah normal atau tidak normal,menjadi kata yang kerap harus dihadapi setiap mengajukan permohonan bersekolah dasar untuk anak saya. Dan saya lantas menerima untuk meletakkan dia di kotak definisi tidak normal. Saya pun harus menerima ketika dia  selalu diletakkan di pojok ruang kelas dengan alasan supaya tidak mengganggu anak yang lain. Penanganan yang sangat superficial dari sebuah sekolah yang mengklaim dirinya inklusi.  Fakta bahwa ternyata anak saya tidak pernah menyakiti anak lain tanpa diprovokasi, atau bahwa dia dapat membaca dan berhitung lebih baik dari seluruh siswa di kelasnya, saat itu bukanlah hal yang penting. Yang menjadi concern terbesar orang saat itu, anak saya bukan anak normal.

Yes, normal is over-rated. Tak masalah jika anak lain menangis seharian di kelas, mereka akan mengatakan mungkin anak itu hanya sedang gundah. Tapi menjadi masalah ketika anak saya menangis saat temannya membawa balon. Tidak normal untuk takut melihat balon. Tanpa mau tahu bagaimana cara otak anak saya bekerja membayangkan sesuatu.  

Saya mulai melepaskan harapan atas bangunan bernama sekolah, saat di sanalah untuk pertamakalinya anak saya mengenal kata ‘aneh’ dan ‘tidak normal’. Yang disematkan pada dirinya. Bahkan oleh orang dewasa yang tentunya normal.

Malam itu saya memasukkan semua ijazah dan jejak pencapaian akademik saya ke dalam sebuah kotak. Saya menangis. Bukan karena dia mungkin tidak akan meraih strata satu atau dua seperti ibunya. Melainkan bahwa bersekolah tidak akan pernah menjadi proses yang membahagiakan baginya. Sementara bagi saya sekolah selalu membahagiakan, bagi dia ini mungkin jalan panjang yang hanya menjadi tempat untuk dinilai secara tidak adil. Ketika satu-satunya pembelajaran yang dia terima adalah bahwa dirinya berbeda.

Saat itu saya memutuskan, tidak akan mencari terlalu keras lagi sekolah buat anak saya. Saya hanya ingin melihat dia bahagia. Melengkapinya dengan kemampuan untuk bertahan hidup dan menjadi manusia berguna dengan hati dan rasa pada tempatnya. Cukuplah dia sempurna bagi saya. Berdoa bahwa kehidupan dapat menjadi guru yang lembut hati baginya.  Suatu saat mungkin akan  ada sekolah yang dapat membuatmu bahagia dan berguna. Perjalanan panjang ini, ibu akan selalu menggenggam tanganmu, dan melepasmu kelak dengan bangga.



#30DWC#30DWCjilid11#day28

Komentar