A Keen Observer






Ketika pertama kali belajar meggambar bentuk objek, saya diharuskan meniru benda yang nyata terlihat oleh mata saya. Jika saya diminta menggambar sebongkah batu, maka batu itu harus ada di hadapan saya saat menggambarnya. Tidak boleh sekedar memindahkan apa yang ada di benak kita tentang sebongkah batu ke atas kertas gambar kita.

Saat itu saya pernah mempertanyakan, mengapa harus begitu. Bukankah kita punya koleksi memori  tentang batu dari apa yang sudah pernah kita lihat. Baik secara langsung maupun dari ilustrasi foto di berbagai buku. Pertanyaan saya itu dijawab oleh seorang senior yang mengatakan, “ Pertama, karena belum saatnya. Kedua, karena dengan melihat langsung hasilnya selalu lebih baik.” Sebelum kemudian dia menambahkan, “ Butuh banyak latihan dengan objek langsung. Kecuali kamu satu dari sedikit orang yang memiliki ingatan fotografik dan tangan yang luar biasa.”

Jawaban itu cukup memuaskan logika saya, tapi tetap tidak menghilangkan kepolosan tahun pertama saya sebagai siswa.  Kepolosan yang dibalut dengan kebodohan. Untuk sebuah tugas menggambar batang pohon lengkap dengan ranting dan daun-daunnya, saya melakukannya tanpa melihat objeknya langsung. Saya hanya membayangkan dalam benak batang dan ranting serta daun-daunnya. Dan tangan saya yang tidak seberbakat yang saya kira, memindahkan bayangan itu ke atas kertas gambar.  Saat itu saya cukup puas dengan gambar saya. Semua arsir dan detil terasa sudah pada tempatnya.Saya sungguh penasaran, apakah cara yang salah itu bisa diketahui saat penilaian nanti.

Dan ternyata, gambar saya termasuk yang harus dibuat ulang. Senior saya yang dapat menangkap raut keingintahuan di wajah saya, menjelaskan tanpa diminta. “ Lihat ini,” pensil di tangannya menunjuk gambar saya pada bagian ranting. “ Arah tumbuh ranting tidak mungkin seperti ini.” Saya terkejut baru menyadari, betapa ranting yang saya gambar dengan baik itu ternyata melintir dari arah tumbuh seharusnya. “ Dan ini, kalau sebagian daun mengarah ke sini, bagaimana mungkin tiba-tiba ada yang mengarah ke sebaliknya.” Lanjutnya sambil tangannya melingkari tangkai daun yang sekarang tidak terlihat masuk akal. “ Terakhir, urat –urat daun ini. Terlihat seperti kamu menatah di atas batu. Tajam dan keras. Rasakan dengan tanganmu daun yang sebenarnya. Daun yang kamu gambar harusnya halus dan rapuh.” Dan saya pun terdiam.

Hari itu, saya tidak hanya belajar bahwa setiap metode pasti ada alasan di baliknya. Dibutuhkan kesabaran dalam belajar.  Hari itu saya juga belajar tentang kekuatan observasi. Mengamati dengan semua indera yang kita punya. Sehingga kita bisa memperoleh detil suatu objek dengan tepat.  Tanpa saya sadari, pembelajaran ini yang menjadi pengingat saya untuk selalu menjadi pengamat yang baik. Mengambil jarak yang tepat terhadap permasalahan. Sehingga dapat memaparkannya dengan baik, untuk dapat menjawabnya dengan runut.

Wisdom yang kembali bermanfaat bagi saya, saat harus berhadapan dengan kondisi anak saya.  Dimana saya harus dengan sabar memahami hal-hal luar biasa yang harus dijalaninya. Cara dia melihat dunia. Cara dia merespon terhadap stimuli sekelilingnya. Maupun cara dia bertahan dalam ketidak biasaannya. Saya belajar untuk diam dan mengamati dia. Agar saya dapat melukis dalam benak saya, peta jalan yang akan saya lalui bersama dia. Tanpa merasa takut. Tanpa merasa terasing. Karena saya telah mengenal tiap lekuk dan ceruk pada dirinya. 

Terimakasih untuk mereka yang mengajarkan saya lebih dari sekedar pengetahuan. Melainkan wisdom, yang mungkin tak segera saya sadari, tapi akan selalu ada di benak saya selamanya. To be a keen observer, and to picture it wholeheartedly.  In this life, as a person, as a mother of my son.


#30DWC#30DWCjilid11#day29


Komentar