Zona Nyaman; Re-thinking
Sering kita mendengar kalimat seperti: keluarlah dari zona
nyamanmu. Hidup sesungguhnya dimulai saat kamu melangkah keluar dari zona
nyamanmu. Just step out of your comfort
zone. Dan sejenis kalimat lainnya. Yang intinya mengajak kita meninggalkan
apa yang disebut sebaggai comfort zone.
Apa yang salah dengan zona nyaman? Dari namanya saja
sepertinya menyenangkan. Tidak ada yang tidak menyenangkan dalam nyaman.
Sejujurnya, apakah kita ingin merasa tidak nyaman? Apakah nyaman itu begitu
berdosa terhadap kualitas hidup kita, sehingga dia kerap harus ditinggalkan?
Jika kamu harus memilih, tidur di atas dipan empuk di kamar atau
beralas tanah di alam terbuka, mana yang akan kamu pilih? Yang merasa berjiwa
petualang mungkin akan memilih yang kedua. Alasannya? Tentu karena lebih
menantang, tidur di dalam ruangan apa serunya?
Satu hal yang bisa kita lihat di atas, kadang terdapat
stereotip tentang zona nyaman. Selintas seakan happy camper kita di atas tadi merupakan gambaran orang yang senang
berada di luar zona nyaman. Says who?
Bagaimana jika memang zona nyaman dia itu ya si alam bebas itu. Dan dia akan
setengah mati menderita kalau harus hidup di dalam ruang yang tertata rapi.
Mungkin kita pernah berkata kepada seseorang “Ah hidup kamu mbosenin amat. Tiap hari berangkat
kerja, nine to five or even more. Do the same thing over and over again. Kurang
tantangan nih, coba dong lakukan hal yang lain.” Mungkin benar, bisa saja orang
itu memang sudah kelewat nyaman dengan rutinitas itu. Tapi, pernahkah terlintas
bahwa nine to five yang disebut
sebagai zona nyaman itu ternyata a fight
on daily bases term. Dimana setiap hari dia harus bertahan di kantor yang
dia tidak suka jenis pekerjaannya, atau dia tidak suka sifat atasan. Mengapa?
Karena realitas bahwa dia harus bertahan disana sebagai pencari nafkah. Itu
bukan zona nyaman buat dia. It’s a battle
field of survival.
Kalimat motivasi lainnya yang tidak kalah populer, bahwa
keajaiban terjadi justru di luar zona nyaman-mu. Lantas, bagaimana kita
menjelaskan Edison atau seorang Jules Verne? Edison yang tidak nyaman dengan
pendidikan konvensional yang tidak memahaminya, dan menemukan kenyamanan di
dalam dinding laboratorium seorang diri. Dan voila, terciptalah keajaiban yang menerangi dunia. Atau seorang
Jules Verne yang hidupnya sudah disiapkan untuk berada di jalur hukum dan
akuntasi, dia meninggalkan itu. Dia menemukan kenyamanan dalam menulis, dan
dunia mendapatkan warisan berupa karya-karya fiksi ilmiah yang luar biasa.
Mereka meninggalkan kondisi awal mereka, karena tidak
nyaman. Bukan karena terlalu nyaman maka ditinggalkan. Kondisi mereka merasa
nyaman dengan diri yang mereka temukan kemudianlah yang justru membuat mereka mampu mencapai titik
optimal dalam berkarya.
Hal di atas dapat membuat kita berfikir ulang tentang
istilah zona nyaman yang harus ditinggalkan. Apakah mungkin kita justru harus
mencari zona nyaman kita. Zona yang nyaman yang substansial, yang memunculkan
yang terbaik dari diri kita. Alih-alih meninggalkan zona nyaman, kita mungkin
harus memperluasnya. Mampu merasa nyaman dimana pun kita berada. Menjadikan
diri kita menjadi orang yang bisa menjawab setiap persoalan yang kehidupan
berikan kepada kita karena kita on our
fullest self.
Meluaskan zona nyaman, seperti kita memetakan wilayah di
luar yang kita sudah tahu. Sehingga kita tidak memiliki ketakutan untuk
menjelajahinya. Betapa pun keren terdengarnya tindakan impulsif just pack your bag and go, hal itu tidak
berlaku bagi sebagian besar orang. Menjelajah
suatu wilayah baru dengan peta terukur itu lebih baik . Lebih make sense daripada menerabas hanya
mengandalkan intuisi dan letak bintang di langit.
Saya meminjam sebuah pemikiran seorang teman, yang
mengatakan bahwa menemukan zona nyaman dan memperluasnya seperti kita menemukan
kebenaran. Kemudian kita memutuskan berteguh di dalamnya dengan semakin mempelajarinya. Dan
peta merupakan ilustrasi dari ilmu yang kita perlukan untuk bisa melakukannya
dengan benar. To be consistently dynamic
in the chosen path.
Sejauh apa kita bisa memperluas zona nyaman kita, tentu
bergantung pada diri kita sendiri. Sejauh mana kita mengenal diri kita,
memahami kelemahan dan kelebihan kita. Dan tentunya, sekuat apa tekad kita
untuk menjadi orang yang lebih baik dan bahagia. Meninggalkan atau memperluas,
itu hanya pilihan kata. Makna yang tercipta ada di dalam kepala kita. Dengan
memahami makna, maka kita bisa ada dan melakukannya.
#30DWC#30DWCjilid11#day22
Komentar
Posting Komentar