Tanggal 8 Maret
mendatang merupakan Hari Wanita Internasional / International Women’s Day
(IWD). Cikal bakal IWD sendiri antara lain adalah Hari Wanita yang dirayakan
oleh warga Amerika Serikat pada tanggal 28 Februari 1909 di New York. Sebelum
kemudian disepakati untuk menjadikan 9 Maret sebagai tanggal IWD berdasarkan
keputusan PBB pada tahun 1975. Pemilihan tanggal tersebut karena lebih
banyaknya negara yang aktif menyelenggaran Hari Wanita pada tanggal itu.
Terutama negara-negara sosalis yang
tidak dimungkiri dalam pergerakannya lebih aktif menuntut kesetaraan gender
dalam semua bidang.
Kini, IWD menjadi agenda internasional yang penting. Hampir
seluruh negara di dunia ikut merayakannya dengan membawa pesan moral tentang
kesetaraan gender dan akses. Tentunya Indonesia termasuk satu di antaranya.
Indonesia termasuk Negara yang memiliki beberapa hari khusus
yang didedikasikan untuk kaum wanita meski tidak lantas menjadi hari libur
nasional. Selain merayakan IWD yang menginduk pada PBB, Indonesia juga memiliki
Hari Ibu dan Hari Kartini. Kedua hari tersebut kerap menjadi momen dimana
berbagai isu yang terkait dengan perempuan menjadi tajuk utama di berbagai
media. Mulai dari pandangan yang mendalam hingga sesuatu yang superficial sesederhana
memakai kebaya khusus untuk Hari Ibu atau Hari Kartini.
Menarik untuk menyadari bahwa dalam dekade terakhir ini
peringatan Hari Kartini dan Hari Ibu lebih hangat dibicarakan. Pendapat
mengenai perayaan tersebut tidak lagi seragam seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tidak lagi pendapat tunggal yang mengamini Kartini sebagai symbol nasional
perlawanan atas ketertindasan wanita. Atau, bagaimana sebagian orang mulai
menyuarakan pendapat yang berbeda tentang bagaiman seharusnya Hari Ibu
diletakkan.
Meski sebenarnya perbincangan tersebut bukan perbincangan
baru, terutama di antara mereka yang tertarik dengan sejarah dan pergerakan
wanita itu sendiri. Tapi topik itu menjadi terbarukan dan lebih menyentuh
banyak kalangan karena iklim informasi digital. Dengan berbagai media sosial
yang memudahkan orang berbagi pendapat atau sekedar meneruskan pendapat orang
lain, suatu topik dapat menjadi hangat kembali. Apalagi kalau melibatkan figur
terkenal meski tidak selalu dapat diandalkan.
Saya pribadi termasuk yang berfikir bahwa Hari Kartini tidak
perlu ada lagi. Cukup bagi kita memiliki Hari Wanita (internasional atau
nasional, pilih saja satu) dan Hari Ibu.
Hari Wanita sebagaimana namanya, untuk merayakan semua hal pada diri
wanita sebagai makhluk setara dengan pria. Isu kesetaraan akses, penilaian yang
adil tanpa standar ganda, serta penghormatan kepada figur-figur wanita hebat
skala nasional maupun internasional akan selalu relevan dengan Hari Wanita.
Hari dimana wanita dirayakan sebagai individu yang memiliki kuasa penuh atas
dirinya sendiri. Individu yang secara sosial, ekonomi, budaya maupun politik
memiliki kemandirian karena sistem yang
adil.
Dengan pemahaman hari wanita seperti itu, saya memandang
tidak perlu lagi sosok tunggal simbolis seperti RA Kartini. Meski tentu saja
beliau adalah sosok yang hebat, bagaimana pun tidak dapat mewakili semua isu
wanita. Tidak pada zamannya tidak pula pada saat ini. Bahwa mungkin Kartini
menjadi kasus yang lebih internasional karena beliau bersentuhan dengan dunia
lain di luar Indonesia merupakan hal yang jelas. Namun setelah alam berfikir
dan wawasan sejarah generasi kita berkembang, dorongan untuk mengakui kehebatan
tokoh-tokoh lokal wanita masing-masing daerah pun merupakan sesuatu yang wajar.
Memakai tajuk Hari Wanita, kita bisa juga merayakan
kehebatan semua tokoh wanita itu. Hari
dimana kita mengingat kembali kontribusi bukan hanya Kartini, melainkan juga
Dewi Sartika, Cut Nya Dien, Nyai Ageng Serang, Cut Muetia, Christina Tiahahu
dan masih banyak lagi berderet hingga masa modern seperti Ibu Fatmawati dan
Ainun Habibie. Sangat beragam, seberagam kenyataan bahwa Indonesia bukan hanya
bentangan tanah Jawa.
Lantas, kalau demikian , untuk apa hari Ibu? Bukankah dengan
sendirinya Ibu adalah wanita? Saya pribadi memandang Ibu adalah peran dalam
struktur masyarkat yang tidak bisa diperoleh wanita dengan sendirinya. Berbeda
dengan pencapaian-pencapaian lain yang bisa dilakukan tanpa keterlibatan unsur
lain di luar kualitas pribadi sang wanita. Untuk menjadi seorang ibu, seorang
wanita harus memiliki anak, baik biologis maupun bukan. Setiap individu adalah
anak seseorang, tapi tidak setiap dirinya adalah seorang ibu.
Ibu perlu perayaan khusus karena fungsi perayaannya beda
dengan peringatan Hari Wanita. Hari Wanita lebih untuk mengokohkan status
wanita sebagai rekan setara pria dengan segala akses dan kemungkinan yang tak
terbatas. Sedangkan hari ibu sebuah perayaan sendi struktur keluarga yang harus
selalu dikuatkan. Perayaan kasih sayang dan komitmen. Dua hal yang tak bisa
dibantah ada pada sosok ibu.
Sebuah pertanyaan mungkin kini mencuat, jika ibu penting
sosoknya hingga ada hari nasionalnya, bagaimana dengan sosok ayah? Tentu sama
pentingnya. Dan bukankah di banyak negara memang terdapat perayaan Hari Ayah
sebagai bentuk kasih sayang dan rasa terimakasih kepada para kepala keluarga
yang bertanggung jawab ? Jika ternyata hari itu tidak ada di Indonesia, mungkin
pertanyaan selanjutnya, apakah ada yang salah dalam cara kita memaparkan
struktur keluarga? Ataukah ternyata para ayah tanpa disadari makin hilang dari
struktur keluarga. Selain fakta dia seorang pencari nafkah. Pertanyaan yang lain waktu harus kita jawab
bersama.
#30DWC#30DWCjilid11#day15
Komentar
Posting Komentar