Otak; Tapestri Kenangan








Semua bagian dalam tubuh manusia adalah hal yang menakjubkan. Yang tidak pernah bisa ditiru oleh manusia dengan sempurna. Jangankan menirunya, untuk memahami cara kerjanya saja dibutuhkan riwayat penelitian yang panjang. Sama panjangnya dengan usia peradaban dan rasa ingin tahu manusia itu sendiri.

Otak, bagi saya, merupakan organ manusia yang paling menarik. Sekaligus misterius. Betapa tidak, otak bisa menyimpan jutaan informasi di dalamnya. Informasi dalam bentuk pengetahuan maupun ingatan. Kumpulan ingatan atas peristiwa yang manusia dengar atau alami. Yang sering pula kita sebut sebagai kenangan, saat rasa sentimental kita mengemuka.

Dulu saya membayangkan jika otak bagaikan labirin dengan dinding-dinding tinggi berupa kabinet yang berderet rapi tanpa jarak. Isi kabinet itu adalah berbagai informasi atau kenangan kita. Ternyata itu tidak sepenuhnya benar. Yang terjadi, malah lebih rumit dari sekedar seperti menyimpan sebuah buku dalam dalam laci. Ternyata proses menyimpan ingatan itu lebih mirip dengan menganyam benang dalam rangkaian tapestri. Indah tapi rumit luar biasa. Serabut-serabut syaraf dalam permukaan otak kita bagai benang yang saling berkaitan satu sama lain.

Beberapa ingatan menetap dengan kuat di dalam otak kita. Beberapa sepertinya dengan mudah memudar dari memori kita. Hal itu berkaitan dengan intensitas peristiwa yang menghasilkan ingatan tersebut. Dan itu bisa berarti peristiwa yang sangat menyenangkan, atau justru sangat menyedihkan. Hal yang sangat logis, sebagaimana kita akan lebih ingat rasa kue yang enak sekali atau yang tidak enak sekali dibandingkan rasa kue yang biasa-biasa saja.

Selain kedalaman peristiwanya, seberapa sering kita recalling ingatan itu akan mempengaruhi seberapa kuat dia menetap di otak kita. Menetap dan mempengaruhi ingatan-ingatan yang lain. Semakin sering kita mengingat kembali sebuah kenangan, maka kenangan itu hanya akan tambah kuat dalam memori otak kita.

Ketika kita memiliki kenangan buruk, biasanya kita ingin melupakannya. Hal yang wajar, karena tak ada yang menyenangkan dengan kenangan buruk. Tak ada yang indah dengan rasa ditinggal cinta sejati, kehilangan anggota keluarga, ataupun kegagalan hidup yang menyakitkan.  Sayangnya, sebuah ingatan yang terlanjur tersimpan di arsip otak kita tidak sepenuhnya bisa dihilangkan. Tidak bisa seperti kita mencabut flash disk dari computer kita dan membuangnya. Yang bisa kita lakukan adalah menulis ulang kenangan buruk tersebut.

Menulis ulang kenangan buruk, secara sederhana dapat dipahami seperti kita melukis ulang di atas kanvas lama. Jika sebelumnya lukisan di atas kanvas itu lukisan yang menakutkan, perlahan kita ubah lukisan tersebut. Kita tambahkan warna yang kita sukai, kita modifikasi bentuknya, dan kita berikan narasi baru untuk cerita tentangnya.  Sehingga pada akhirnya, saat kita melihat kembali lukisan itu, yang tampak adalah sebuah ingatan baru. Kenangan yang sudah diredifinisi.

Yang menjadi masalah sebagian dari kita, mungkin termasuk saya, senang lingering dalam suatu kenangan yang menyedihkan. Kalau perlu kita memberikan sound-track dan suasana yang pas agar proses recalling kenangan itu maksimal.  Lagu yang mendayu, kamar yang muram atau rintik hujan yang mendukung suasana. Lantas sempurnalah apa yang diperlukan untuk recalling kenangan patah hati atau memori sedih lainnya.

Tapi, bukankah memang kenangan yang memperkaya rasa kita? Tanpa kenangan, apa yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya? Sebagaimana orang bilang, sekuntum mawar hanyalah bunga lainnya hingga kita menyematkan kata cinta di dalamnya?  Benar adanya. Namun, menata makna dan kenangan adalah hal yang baik untuk pikiran dan jiwa kita.

Saatnya bagi kita, bagi saya juga tentunya, untuk tidak sekedar hanya recalling tapi juga redefining kenangan.  Agar kita bisa merapikan isi memori otak kita. Hingga kenangan yang tak perlu tidak lagi mendominasi alam pikiran kita. Memberi ruang untuk kenangan baru yang lebih empowering, lebih mencerahkan. Membuat kita manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Lagi pula, seharusnya kita bisa menjadi tuan dari pikiran kita. Either you want to shake the memory off, or just stay lingering with it. The choice is yours. Bukankah pada akhirnya kita ingin sebuah tapestri yang indah terjalin dari benang-benang kenangan kita.


#30DWC#30DWCjilid11#day20











Komentar