My Last Resort





Setiap kali pikiranku terlalu penuh atau terlalu kosong, entah kenapa benakku selalu berlari padamu. Terlalu penuh dengan permasalahan sehari-hari yang trivial maupun urusan yang kadang kamu sebut ‘aku yang mencoba menyelamatkan dunia’.  Atau terlalu kosong karena tidak ada lintasan ide yang menarik, karena lautan tanpa ombak hari ini. Maka pikiranku akan berlari padamu.

Duabelas tahun yang lalu aku mengejutkan sahabatku dengan mengatakan, hei aku mau bertemu calon suamiku hari ini. Entah mana yang lebih mengejutkan dia, bahwa aku tiba-tiba punya calon suami, atau pakaianku saat itu. Pakaian ‘seragam’ aku mengajar di sebuah perguruan tinggi swasta di kota kami. Kemeja katun dan rok jeans, sepasang sepatu kets, dan sebuah ransel penuh buku. Tidak ada yang istimewa. Karena aku memang tidak ingin berusaha tampil istimewa. Meski sebenarnya orang yang akan kutemui itu istimewa. Pria yang akan menjadi partnerku. Seumur hidupku, jika Tuhan mengizinkan.  Untuk bisa bertahan seumur hidup, aku berfikir harus membuatmu melihat sisiku yang biasa. Jika kau jatuh cinta karena aku berusaha tampil istimewa, aku takut saat aku hanya ingin biasa maka tidak ada lagi pesona yang tersisa.

Hari itu hari pertama kita bertatap muka. Menggelikan mungkin bagi sebagian orang. Bagaimana bisa aku meletakkan nasib kehidupan berumahtangga hanya dengan satu dua kali pertemuan sebelum hari pernikahan. Tapi saat itu, dan masih hingga kini, aku sangat percaya pada ketentuan Tuhan. Ini urusan terpenting dalam hidupku saat itu, maka biarlah Yang Maha Tahu yang memutuskan untukku. Cukup pengantar yang sempurna dalam doa dan niat yang jadi urusanku dalam berusaha. If you would be my island, God speeds.

My island. Aku suka menggambarkan dirimu demikian adanya. Daratan yang mengapung dengan kuat dan tenang. Dan aku berlabuh di sana. Dengan segala muatan yang aku bawa. Termasuk koper ketidakdewasaanku, keegoisanku dan gelembung hidupku. Karena kau adalah sebuah pulau, kau tidak akan bisa lari. Akulah yang akan menjelajahimu. Dan kau tidak bisa mengusirku. Karena kupastikan pulau yang aku gambar ini tidak punya gunung berapi aktif dan tidak terletak di sabuk gempa. Kau adalah jiwa yang stabil. Dan kupancangkan tiang rumahku di sana.

Kadang aku merasa aku teralu bergantung padamu. Merasa tenang hanya bersamamu. Dan membiarkan hanya kau yang mengerti semua isi hatiku. Hey, tapi bukankah itu hak istimewa yang memang hanya boleh dimiliki satu orang. Dan kau bilang, hanya aku yang melihatmu sebagai sebuah pulau saat itu. Sementara orang lain hanya memandangmu bak sebongkah batu. Aku tertawa, aku tak seistimewa itu. Aku hanya wanita yang menyukai hari yang tenang setelah hujan. Lantas aku teringat, betapa kau sangat menyukai awan yang putih berarak menghiasi sinar matahari.

Kita baru bertahan duabelas tahun, kataku. Sampai kapan rumahku ada di pulaumu. Akankah pulau itu tetap menjadi pulau yang sama. Kau bilang, tentu tidak akan sama. Karena pulanya menjadi makin hijau dan teduh. Hujannya kadang deras dan awannya tidak selalu putih, tapi pulau itu semakin berwarna adanya. Dan pelangi seringkali mengintip, setelah hujan deras ataupun awan kelabu. Dua lengkung pelangi. Dua anak kita yang luar biasa.

Jika orang lain menggambarkan kehidupannya dengan city skype yang indah penuh cahaya lampu, kehidupanku –kehidupan kami- tidak begitu. Sebuah pulau yang hijau di perairan yang kadang tenang kadang bergelombang. Dengan pelangi melengkung indah. Mungkin sepi, mungkin tidak istimewa. Tapi itu yang selalu membawa aku berlari pulang. Dan berkata, aku tidak perlu mencari apa pun lagi.



#30DWC#30DWCjilid11#day23





Komentar