Murid Kehidupan yang Tidak Cerdas
Kalau melihat catatan pedidikan dasar saya, orang mungkin
bilang saya murid yang cukup cerdas. Meski tidak selalu cemerlang di setiap
mata pelajaran maupun mata kuliah. Ada
pula saatnya saya menikmati sedikit bangga hati ketika menutup kuliah strata
dua saya denga nilai sempurna. Tapi sesungguhnya, saya murid yang tidak cerdas.
Kata tidak cerdas ini mungkin penghalusan dari kata bodoh dan bebal. Ya, saya
adalah pembelajar yang super lambat. A
really slow learner, untuk urusan kehidupan.
Saya jelas adalah murid para guru saya dari jenjang taman
kanak-kanak hingga pergurua tinggi. Yang terlambat saya sadari adalah selain
guru-guru hebat itu, kehidupan juga guru bagi saya. Guru yang penuh kejutan.
Setidaknya bagi saya, yang selalu kurang peka menyimpulkan pesan terselubung.
Kecuali pesan terselubung itu ada dalam buku kuliah, plot novel atau film maupun
objek multi tafsir. Pesan manusia, saya masih cukup cekatan menebak. Tapi pesan
Allah, kadang perlu waktu yang lebih lama. Meski penyebab utamanya bukan otak
saya yang tidak cerdas, melainkan hati yang tidak lapang.
Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk memahami mengapa
Allah memilihkan lelaki seperti suami saya untuk jadi pasangan hidup saya. Karena ternyata melaluinya saya belajar untuk
bisa melenturkan diri saya dalam merespon kehidupan. Tidak bersikap reaktif
tanpa solusi yang masuk akal. Meski awalnya saya gregetan melihat dia yang
seakan versi saya yang diperlambat berkali-kali lipat. Namun kemudian saya
menyadari bahwa hidup kadang harus menahan diri.
Dan saya pun butuh lebih dari duapuluh tahun untuk memahami
ibu saya. Ketika saya memiliki seorang anak, saya menyadari kehidupan mengajari
saya untuk tidak menjadi ibu seperti ibu saya. Bukan karena Ibu adalah seorang
ibu yang buruk. Melainkan ibu saya yang tidak pernah bisa bersikap hangat,
karena Ibu tidak berkesempatan memiliki seorang ibu dalam hidupnya. Pelukan yang langka dan small talks yang
tidak pernah saya miliki dengan Ibu, akan selalu saya ingat. Agar saya pastikan
anak-anak saya mendapatkannya. Tanpa syarat, tanpa butuh alasan yang luar
biasa.
Saya menjadi murid untuk mata pelajaran bersabar dan
menerima dari anak sulung saya. Butuh empat tahun untuk benar-benar bisa
menerima, bahwa anak saya berbeda dari anak biasa. Kesadaran yang hadir ketika
anak saya itu berkata “ Abang sayang ibu,” dan dilanjutkan dengan pertanyaan “
Ibu sayang Abang?.” Anggukan dan jawaban ‘ya’ saya saat itu adalah sesuatu yang
otomatis. Sementara benak saya masih memproses. Menyadari secara lambat, bahwa
ternyata selama ini saya terlalu sibuk memperbaiki kekurangan dia di mata
dunia. Sementara dia mungkin ingin cukup saya yang menganggap dia sempurna.
Masih banyak daftar kelambanan saya dalam menjadi murid
kehidupan. Apa dan bagaimana pun itu saya tahu kehidupan akan terus mengajari
saya. Saya berharap saya akan menjadi murid yang lebih baik. Bisa melewatinya
tanpa remedial berkali-kali. Menyadari
sebelum terlambat. Berusaha sebelum tak ada lagi yang bisa diupayakan. Semoga.
#30DWC#30DWCjilid11#day24
Komentar
Posting Komentar