Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seorang kawan
lama. Dulu saya dan dia kuliah di kampus yang sama. Meski berbeda jurusan kami
berada di satu fakultas yang sama, sehingga cukup banyak kelas yang kami lalui
bersama. Hari itu kami tidak sengaja bertemu di sebuah tempat makan di bilangan
Dago, Bandung. Tempat makan yang suasananya cukup nyaman untuk membawa serta
keluarga. Saya sendiri datang full team
dengan suami dan dua orang anak kami. Sedangkan dia datang sendiri karena suami
dan anaknya masih asik mencoba wisata naik kuda di dekat kampus kami dulu. Dia
bermaksud menunggu mereka selesai di tempat makan itu sambil rehat.
Percakapan di antara kami mengalir begitu saja. Padahal kami
sudah sangat lama tidak bertemu langsung, meski memang kerap saling sapa di whatsapp. Mulai dari obrolan
mengenang-ngenang masa kuliah hingga kabar terkini dari teman-teman kuliah dulu
yang sama-sama kami kenal. Obrolan
seputar siapa menikah dengan siapa, sudah punya anak berapa, ngapain aja selama ini, dan sejenisnya.
Hal-hal trivial biasa. Namun sepotong cerita tentang seorang teman kami membuat
saya berfikir banyak di sisa hari itu.
Ada seorang teman kami yang kabarnya memutuskan untuk tidak
memiliki anak. Hal yang menjadi alasan adalah dia merasa dia tidak akan mampu
menjadi seorang ibu yang baik. Jadi, daripada memiliki anak tapi kemudian
bersalah karena tidak mendidiknya dengan baik, dia memutuskan lebih baik tidak
punya sekalan. Agak fatalis memang terdengarnya. Tapi, somehow,
saya bisa memahaminya. Semasa kami masih
kuliah, dia pernah mencetuskan pemikiran yang cukup tidak biasa. Menurutnya,
dia tidak merasa izin untuk menikah adalah sesuatu yang penting. Menurutnya
yang harus diatur adalah izin untuk menjadi orangtua. Lebih lengkapnya, dia
merasa seharusnya pemerintah memberikan aturan baku tentang kualifkasi menjadi
orang tua.
Sebenarnya, itu bukan ide yang buruk. Jika kita melihat
berita penelantaran anak yang masih cukup marak. Tapi tetap saja, sedikit
mengejutkan saat saya menemukan bahwa teman kami itu benar-benar konsisten
dengan pemikirannya. Saat itu dalam hati saya bertanya-tanya apa yang teman
kami itu pikirkan tentang saya yang ‘berani-beraninya’ memiliki dua orang anak.
Padahal secara kualtas pribadi, mungkin dia berpendapat saya tidak lebih baik
dari dia.
Kami sudah menghabiskan pesananan kami ketika suami dan anak
teman saya datang menjemputnya. Setelah mereka berpamitan , aku baru menyadari
ternyata sudah cukup lama anak-anak saya bermain dengan ayahnya di playground
kecil dekat area makan. Saya dapat
melihat anak sulung saya yang masih keukeuh
ingin mencoba rumah pohon yang sebenarnya sudah tidak cocok untuk usianya.
Sementara adik kecilnya terlihat antusias menyemangatinya. Dan suami saya…yah,
berusaha sebaik mungkin untuk keep things
in order.
Keluarga saya tidak sempurna. Saya tidak sempurna. Dan saya
memiliki anak sulung laki-laki yang dinyatakan bukan termasuk anak biasa yang
normal. Meski saya selalu merasa normal itu kadang over rated. Jika saya mengamini pemikiran teman kami, apakah saya
termasuk orang yang tidak pantas menjadi orang tua? Tidak pantas karena baru di
usia anak sulung saya menjelang 3 tahun, saya menyadari perbedaan dirinya. Hal
yang harusnya disadari, atau tepatnya diakui, jauh lebih awal dari itu. Apakah
saya harus didiskualifikasi sebagai ibu karena saya entah kenapa tidak bisa
tuntas memberinya ASI eksklusif seperti ibu-ibu yang lain? Apakah saya dianggap
melakukan kesalahan besar karena ‘berani’ memiliki anak dimana secara empiris karakter
genetik saya dan suami memungkinkan kami mendapat jackpot anak istimewa? Ataukah kami harus didiskualifikasi karena meski telah bekerja keras pendapatan kami tidak cukup untuk membayar pendidikan terbaik? Pertanyaan-pertanyaan itu bersuara di benak
saya. Mungkin jawabannya adalah ‘ya, untuk semuanya’.
Tapi saya pun harus pula menambahkan catatan kaki untuk
jawaban itu. Bahwa tidak ada penyesalan atas semua yang Tuhan telah tentukan. Bahwa hidup adalah perjalanan yang harus kita
pertanggungjawabkan, tanpa harus menjadi orang yang penuh prasangka. Saya
melewati tahun-tahun berat besama pilihan-pilihan hidup saya dengan bermodalkan
prasangka baik. Bahwa Tuhan lah yang memilihkannya untuk kita karena Tuhan
sangat mengenal kita. Kita hanya berusaha terbaik dengan pilihan yang ada. Berusaha
memenuhi kualifikasi, bukan hanya sebagai orang tua, melainkan sebagai manusia.
Di penghujung hari itu, saat maghrib tiba, anak sulung saya mengekor ayahnya pergi ke mesjid. Sementara adik kecilnya memilih mukena merah muda favoritnya untuk ikut salat dengan saya di rumah. Hidup kami yang biasa, dengan pilihan-pilihan yang biasa. Semoga Allah mencintai kami selalu.
Di penghujung hari itu, saat maghrib tiba, anak sulung saya mengekor ayahnya pergi ke mesjid. Sementara adik kecilnya memilih mukena merah muda favoritnya untuk ikut salat dengan saya di rumah. Hidup kami yang biasa, dengan pilihan-pilihan yang biasa. Semoga Allah mencintai kami selalu.
#30DWC#30DWCjilid11#day14
Komentar
Posting Komentar