Fondasi Menara Gading
Hari ini sebuah film dokumenter mampir di layar laptop saya.
Bukan film baru, dirilis tahun 2014 di Amerika Serikat. Judulnya Ivory Tower, dua kata yang secara
harfiah kita artikan menara gading. Secara makna pun ternyata kedua istilah itu memilki kesamaan, yaitu
tempat yang nyaman dan serba mulia dimana orang yang berada di dalamnya akan
cenderung bersikap masa bodoh terhadap lingkungan luar.
Banyak kalangan mengasosiasikan istilah menara gading ini
kepada kelompok pemikir atau akademisi. Mereka dianggap berkutat dengan
pemikiran-pemikiran rumit yang tidak membumi, dan kerap gagap saat harus
berhadapan dengan realitas. Kaum akademisi sering dianggap hanya asik dengan lingkarannya
sendiri yang terdidik, tersaring dan
memiliki pemikiran yang mereka rasa (dan terkadang memang benar adanya) tidak
dapat dipahami oleh orang biasa.
Film Ivory Tower ini selain menyoroti ke-elitan kelompok
akademisi , juga membahas tentang kekhawatiran mengenai biaya pendidikan yang
luar biasa tinggi. Jumlah yang menurut penelisikan film ini sudah mencapai ambang
yang mengerikan. Dengan sistem pinjaman pendidikan yang seakan merupakan
penolong, seorang lulusan universitas harus bekerja keras untuk melunasi
hutang-hutang tersebut bertahun-tahun lamanya. Itu pun jika dia berhasil
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
bidangnya.
Menonton film ini membuat saya berfikir tentang pendidikan
di Indonesia. Kekhawatiran lama yang terbarukan setelah saya memiliki anak usia
sekolah. Sebelum bicara tentang mahalnya biaya kuliah, biaya pendidikan dasar
di Indonesia pun sudah tak murah lagi. Hal ini tentu bisa didebat dengan adanya
program pendidikan dasar gratis dari pemerintah daerah. Tapi, jika kita
menginginkan kualitas pendidikan dasar yang baik, saat ini belum bisa bertumpu
pada program tersebut.
Kenyataan bahwa uang pangkal pendidikan dasar (SD-SMA) bisa sangat
mahal tidak bisa dimungkiri. Kadang di beberapa kota besar, bisa sama dengan jumlah tabungan satu tahun
keluarga kelas menengah. Belum lagi uang SPP yang beda tipis dengan jumlah gaji
UMR. Dengan faktor biaya sebagai
penyaring tunggal saja, kita sudah mendapatkan sekelompok terpilih yang bisa
merasakan pendidikan yang baik. Sisanya, harus bertahan dengan pilihan sekolah
pemerintah yang ada. Yang sayangnya kerap masih jauh dari kata bagus.
Kemudian kita pun akan menemukan faktor penyaringan kemampuan
yang kadang berlebihan. Seperti untuk masuk SD anak diharapkan sudah bisa
membaca dengan baik. Sedangkan untuk menjaga ke-elitan sekolah tingkat lanjutan memiliki sistem saringan
sendiri di luar pertimbangan nilai UAN yang diselenggarakan pemerintah. Di sini sudah terbentuk stereotip kelompok
yang bisa mengecap pendidikan dasar berkualitas. Dan kita pun sedang membuat
fondasi untuk sebuah menara gading.
Berlanjut ke jenjang kuliah, biaya pendidikan semakin
tinggi. Hanya segelintir yang bisa memperoleh beasiswa. Selebihnya, selain
cukup pintar seorang calon mahasiswa
harus sangat cukup modal. Bahkan sebagian besar perguruan tinggi negeri yang
konon harus lebih ramah secara biaya, tidak mengenal lagi kata merakyat. Sebagian
membuka jalur bagi mereka yang sanggup membayar uang pangkal lebih mahal dengan
syarat-syarat tertentu.
Di titik ini, stereotip elit secara kualitas diri (kecerdasaran,keterampilan),
akses terhadap modal (kekayaan) dan akses terhadap sumber daya manusia (koneksi
lingkaran akademis) semakin terlihat sempurna.
Menara gading pun terpancang tinggi. Ke-elitan seperti diatas bukan
hanya membuat akademisi homogen secara lingkungan pemikiran. Melainkan juga
latar belakang sosial ekonomi. Hal ini diyakini semakin mempersempit kemampuan
mereka menalar hal-hal yang terjadi di luar lingkarannya. Kekhawatiran akan hal
ini tentu dirasakan juga oleh para aktivis akademis yang matang di era 70 hingga
90an. Termasuk seperti yang disuarakan oleh Imam Prasodjo yang memandang kampus
kini hampi kehilangan interaksinya dengan realitas masyarakat. Tidak mengenali masyarakat yang seharusnya
menjadi tempat mahasiswa kembali dan bermanfaat selepas menjalani pendidikan
tinggi.
Disadari atau tidak, kita sebagai orang tua ikut membangun
menara gading itu. Dimulai dari memilih pendidikan dasar hingga perguruan
tinggi untuk anak kita. Tak ada yang salah dengan memperjuangkan pendidikan
terbaik untuk anak kita. Tapi mungkin kita harus lebih bijaksana dengan tidak
menjadikan anak kita sepenuhnya berada dalam lingkaran yang homogen. Ketika dia
jadi hanya mengetahui satu versi kehidupan dan tumbuh tanpa pemahaman betapa
beragamnya kondisi masyarakat yang ada.
Hal tersebut bisa dimulai dengan tidak hanya mengandalkan
jam sekolah. Yang meski sudah sangat panjang untuk satu harinya, tetap memerlukan sentuhan kita untuk membentuk karakter anak kita.
Kita lah yang harus bisa mengenalkan dunia yang beragam, dan menumbuhkan empati
di dalamnya. Sehingga saat nanti dia berada di atas menara gading itu, dia mampu
melihat hamparan di bawahnya, dengan penuh kesadaran tanpa keterasingan.
#30DWC#30DWCjilid11#day11
Komentar
Posting Komentar