Bekasi Memang Bukan Betawi

Kadang sebuah obrolan ringan dapat membawa kita ke sebuah pemikiran yang lebih jauh. Bermula dari suatu hal sederhana, kita memikirkan yang lebih rumit di belakangnya. Seperti yang saya alami dengan suami saya hari ini. Dia bercerita bahwa kemarin dia kembali disangka sebagai orang seberang oleh pengemudi ojek on-line yang dipesannya. “Seberang mana?” tanya saya sambil lalu. “ Ngga,tau. Batak kayanya.” Saya terkekeh mendengar jawaban suami dan meyahut, “ Waktu di asrama kan isinya banyak orang Sumatera, Yah.” Dan suami saya mengamini sambil kembali mengingat mahasiswa-mahasiswa dari pulau Sumatera yang sempat berbagi asrama dengannya. Sebuah asrama yang letaknya tidak jauh dari kampus dahulu kami kuliah di Bandung. Bangunan tua khas Belanda yang sempat  beralih fungsi menjadi kantor pos kampus.

Kejadian menjadi ‘tersangka orang seberang’ ini memang cukup sering dialami oleh suami saya. Memang harus diakui wajahnya tidak terlalu mencerminkan wajah orang Betawi-Sunda. Etnis yang diklaimnya sebagai identitas dia yang sebenarnya.  Berbeda dengan stereotip orang Betawi yang katanya cerewet dan cenderung keras saat berbicara, suami saya kebalikannya. Dia bicara dengan volume secukupnya, yang kadang membuat bapak saya yang mulai tua jadi geregetan kalau ngobrol dengannya. Atau pun senyumnya yang jarang sekali cukup lebar singgah di wajahnya saat bercakap dengan orang. Padahal katanya orang Sunda mudah sekali tersenyum. Kalau saat berjalan dengannya dan saya memaggilnya ‘Abang’, maka itu hanya memperkuat dugaan dia orang Sumatera. Karena sapaan Abang pun digunakan di sana. Padahal abang yang ini abang dari Betawi punya.

Obrolan santai kami tentang identitas yang salah ini pun berlanjut. Terlepas dari kasus khusus akibat penampakan wajah seperti yang dialaminya, suami bilang, etnis Betawi di Bekasi memang serba bingung.  Secara geografis Bekasi memang dibilang bagian dari Jawa Barat. Maka, dalam kurikulum pendidikan dasar mendapatkan mata pelajaran Bahasa Sunda. Mata pelajaran yang sempat membuat hampir seluruh isi kelas Sekolah Dasar suami saya saat itu mendapat nilai telur. Alias nol. Sama sekali tidak mengerti apa yang diajarkan. Sesuatu yang ironis, saat sebuah etnis dipaksa mengakui bahasa etnis lain sebagai muatan lokalnya.  Sementara ikatan emosioal dan historis pun lebih relevan ke Betawi alih-alih Sunda yang menjadi identitas utama Jawa Barat.

Secara pembagian wilayah operasioal militer, Bekasi termasuk dalam wilayah yang sama dengan Jakarta. Namun, orang Bekasi dikatakan tidak memiliki kedekatan emosional dengan tentara Jakarta maupun kodam Siliwangi yang menjadi cikal bakalnya. Orang Betawi di Bekasi memiliki pahlawan lokal bernama Haji Nur Ali. Secara akar beliau adalah tokoh agama yang aktif dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.  Cara berfikirnya yang progresif yang membawa Bekasi secara teritori menjadi terpisah dari keresidenan Jatinegara. Menjadi sebuah wilayah yang mandiri.  Kiprah Haji Nur Ali yang menasional menjadi kebanggaan orang Bekasi, dengan intensitas kedekatan emosioal seperti etnis Betawi lain dengan tokoh si Pitung-nya.

Membicarakan hal itu semua, saya tiba pada sebuah kesimpulan. Bekasi memang bukan Betawi. Bukan pula Sunda. Mungkin irisan keduanya, tapi dia sudah menjadi identitas sendiri.  Seperti yang dirasakan oleh suami saat kami kini harus tinggal di Bandung kembali. Menurut dia, semua orang di kantornya yang non-Sunda memanggil dia ‘akang’ (panggilan khas untuk pria Sunda). Tapi mereka yang asli orang Sunda memanggi suami saya dengan sebutan ‘abang’. 

Not here, but obviously not there. Kadang itu sesuatu yang sangat tidak nyaman. Tapi kadang, mungkin terselip juga kebanggaan sebagai sesuatu yang tidak dengan mudah terdefinisikan. Sementara orang lain di luarnya kerap mencoba memberi definisi yang tidak tepat. Seperti buah manggis yang disematkan sebagai ikon kota Bekasi. Yang pada kenyataannya, sama sekali tidak benar. Tidak ada pohon manggis di Bekasi.


#30DWC#30DWCjilid11#day25




Komentar