Rumah bagi Mesjid Agung Bandung

Rumah bagi Mesjid Agung Bandung
*sebuah pendapat pribadi

Sebagai seorang yang lahir dan besar di Bandung sebelum akhirnya pergi meninggalkannya selama satu dekade lebih, Mesjid Agung Bandung (kini Mesjid Raya Bandung) merupakan salah satu bangunan ikonik yang keberadaannya cukup membekas di benak saya. Salah satu penagar kota yang cukup tua dan mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Seperti banyak kota-kota lama lainnya di pulau Jawa, kota Bandung menerapkan pola empat penjuru sebagai pola utama tata letaknya. Dimana keempat penjuru tersebut mencerminkan keselarasan antara spiritualitas, pemerintah, penegakan hukum dan keseharian masyarakat terutama roda ekonomi.  Sebuah mesjid agung merupakan symbol kehadiran penguasa sebagai pengayom spiritualitas, sebuah balai kota mewakili system pemerintahan, sedangkan sebuah penjara menjadi wujud penegakan hukum dan alun-alun kota merupakan wadah roda perekonomian dan tempat bertemunya penguasa dengan rakyatnya di peristiwa-peristiwa khusus.

Jika ditelesuri jejaknya prinsip empat penjuru tersebut di kota Bandung terlihat dari letak Bale Bandung (kantor pemerintah kota) yang menghadap mesjid agung, letak taman Alun-alun Bandung dan letak dimana penjara Banceuy dulu pernah ada.

Sepanjang yang saya ingat sejak akhir tahun 80an hingga awal 2000an Mesjid Agung Bandung mengalami banyak perubahan fisik yang cukup besar, bahkan perubahan terakhir membuat wujud awal Mesjid Agung Bandung hampir sepenuhnya tidak terlihat lagi meski menyisakan beberapa massa interior yang mengindikasikan kondisi awal.

Di luar fakta bahwa renovasi dan (mungkin) revitalisasi Mesjid Agung Bandung telah mempercantik tampilan luar, saya kerap merasa semua upaya itu tidak membawa Mesjid Agung Bandung pulang ke rumahnya. Mulai dari upaya membangun jembatan antara bangunan utama Mesjid Agung Bandung dengan ruang terbuka taman alun-alun yang berseberangan dengan pusat perbelanjaan dan bioskop yang cukup besar saat itu di akhir 80’an, perubahan fasad bangunan dan menara untuk menyaingi keberadaan deretan pertokoan yang makin padat di sekitarnya pada tahun 90-an hingga perubahan total massa bangunan dan lanskap taman Alun-alun Bandung sejak tahun 2002. Bagi saya, itu seperti upaya untuk tetap terlihat di tengah keramaian yang makin mendesak, tapi tidak berhasil karena nyawa sebuah Mesjid Agung yang sakral tidaklah untuk dipaksakan berkelindan dengan sesuatu yang profan tanpa memberi jarak transisi yang jelas.

Memaksakan keberadaan sebuah mesjid agung di lingkungan seperti itu seperti memaksakan seseorang berdandan cantik ke sebuah pesta yang  tidak mengundangnya. Sekalipun dia tidak hadir, tidak akan dirasakan kehilangannya, melainkan hanya sebuah kursi kosong yang tidak terisi. Atau dalam hal ini sebidang tanah yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih relevan dengan saat ini seperti misalnya sebuah fasilitas sosial dan ibadah publik yang sifatnya sangat fungsional dan tidak lagi terbebani dengan peran simbolis yang harus dipikulnya.

Setidaknya untuk saat ini, beban tersebut memang sedikit terangkat dengan penamaan ulang Mesjid Agung Bandung menjadi Mesjid Raya Bandung. Meski landasannya diyakini karena mesjid tersebut merupakan kelengkapan pemerintah provinsi dan bukan pemerintah kota yang selama ini menjadi salah satu syarat sebuah mesjid agung, setidaknya bagi saya rasa kata ‘raya’ masih dapat diterima daripada kata ‘agung’ saat direlasikan dengan kondisi sekarang. Untuk merasakan ‘raya’ sebuah massa bangunan yang dominan bisa jadi sudah mencukupi, tapi untuk menjadi ‘agung’ dibutuhkan lebih dari itu, karena di dalamnya ada rasa penghormatan dan pengkhidmatan.  Dan dimanakah mesjid agung kota Bandung sekarang ini? Mungkin kelak di sebuah mesjid yang orang-orang datang bukan hanya sekedar singgah dari kehiruk pikukan,  dan ketika seruan di dalamnya masih menjadi kabar yang memiliki kekuatan bagi masyarakat kota Bandung yang  mencari panduan spiritual dari pemimpin kotanya.

#30DWC#30DWCjilid11#Day1

Komentar