Re-definisi Bahagia
Dulu ketika saya masih aktif mengajar, saya selalu bertanya
pada mahasiswa saya apakah mereka bahagia kuliah di jurusan ini. Biasanya, reaksi
pertama mereka adalah raut bingung. Mungkin itu pertanyaan yang tidak biasa.
Saat itu penting bagi saya untuk merasa bahagia dengan apa yang kita lakukan.
Termasuk menjalani kuliah. Dimana kita akan menghabiskan setidaknya empat tahun
di sana. Jika kamu tidak menyukainya, maka kamu akan menderita selama empat
tahun. Begitu kata saya kepada mereka. Jadi sebelum terlambat, tidak jarang
saya menyarankan mereka berfikr ulang. Melanjutkan atau mulai mempertimbangkan
jurusan lain untuk diambil. Pertanyaan saya itu sempat membuat saya kehilangan
beberapa mahasiswa, yang mungkin memutuskan untuk mencari bahagia di jurusan
lain.
Seorang rekan sesama pengajar sempat mempertanyakan
kebiasaan saya itu. Menurutnya tidak adil untuk membuat mahasiswa meninggalkan
jurusan yang telah dipilih begitu saja. Bagaimana dengan waktu yang sudah
terbuang, belum lagi persoalan administrasi yang kadang tidak mudah ataupun
murah. Di usia awal duapuluhan dengan ke-akuan yang masih tinggi, saat itu saya
merasa itu bukan masalah. Saya lupa bahwa saya sendiri tidak pernah ada dalam
posisi mahasiswa yang menjadi resah karena pertanyaan saya. Perjalanan saya
menuntut ilmu selalu sesuai dengan pilihan saya dan hampir tidak ada yang
disesali. Mendapat pendidikan dasar yang terbaik dan memilih jurusan yang saya
sukai di perguruan tinggi yang kata orang terbaik pula. Prinsip berhentilah jika kamu tidak bahagia
bagi saya adalah segalanya saat itu.
Baru di usia awal tiga puluhan
saya menyadari prinsip itu tidak
selamanya bisa saya ikuti. Di saat itu saya belajar untuk memahami ada beberapa
hal yang tidak bisa kita lepaskan meski kita tidak bahagia menjalaninya. Lebih
sulit dari sekedar menuntaskan tugas akhir kuliah atau sebuah tesis. Meski
kedua hal itu sulit dan melelahkan saya mampu menuntaskannya karena saya berada
di tempat yang saya inginkan. Hal akan sangat berbeda jika kita harus berjuang
untuk hal yang kita tidak sukai atau kita tidak mengerti.
Saya mempelajari itu saat Tuhan
menitipkan seorang anak yang luar biasa kepada saya. Anak yang memandang dunia
tidak sama dengan anak lain pada umumnya. Yang terpikat pada pola suara dan
cara kerja benda dibandingkan mainan anak umumnya. Seorang anak yang sempat
tumbuh dengan merasa rumput benda yang menakutkan, atau ilalang mengeluarkan
bunyi yang tidak menyenangkan. Saya belajar untuk melepaskan yang saya suka,
dan bertahan di sampingnya untuk memahaminya. Dia bukanlah jurusan yang bisa
saya ganti saat saya tidak bahagia di dalamnya.
Dia adalah ilmu yang harus saya
pelajari karena saya tidak bisa melepaskannya. Saat itu saya harus belajar
untuk menerima bahwa ketidaksempurnaan rasa itu ada untuk diperbaiki. Bahwa
bahagia terkadang harus didefinisikan ulang agar kita mampu bertahan dengan
yang ada. Sebuah upaya terbaik untuk menyelesaikan yang ada dan tidak
meninggalkannya. Jika lelah, berhentilah sejenak, untuk kembali lagi dengan
lebih baik. Jangan terlalu keras berusaha mengejar bahagia. Saat kita bisa
menerima apa yang ada dengan diri kita dan orang terdekat kita, saat itulah
bahagia itu ada. Setidaknya, bagi saya saat ini, bahagia bisa sekedar berarti
anak saya pulang dan berkata dia merasa senang di sekolah hari ini. Atau saat
dia memeluk saya dan berkata, “ sayang ibu…”.
Komentar
Posting Komentar