Ada satu spot istimewa di dalam kampus tempat saya dulu
kuliah dua puluh tahun lalu. Sebuah selasar di lantai dua di gedung
labolatorium fakultas lain yang sering saya telusuri kalau sedang bosan di
jurusan sendiri. Selasar itu sama dengan selasar di gedung-gedung lainnya di
kampus, hanya lebih sepi. Dan yang terpenting dia menghadap deretan pohon yang
saya sukai, yang saat menjelang musim kemarau memberikan campuran warna hijau,
kuning dan coklat yang cantik. Saya bisa berlama-lama bersandar di railing selasar itu menatapnya sambil mendengarkan lagu dari walkman. Ya, walkman, ah..terbayang betapa lamanya hal itu sudah berlalu kan?
Di saat orang masih menggunakan walkman dan
pemutar CD sebelum mengenal format MP3
player, dan layar handphone yang
masih mungil hanya cukup untuk menampilkan deretan teks pesan singkat tidak
secara utuh.
Sambil mendengarkan lagu-lagu grup musik U2 yang saat itu
masih jadi kesayangan, saya sesekali memandang ke gedung kuliah yang terletak
di seberangnya. Selalu menarik bagi saya untuk memperhatikan para
mahasiswa-mahasiswi yang keluar dari gedung itu. Menarik, karena mereka berbeda
dari stereotip mahasiswa-mahasiswi di jurusan saya. Tampak lebih serius,
pilihan pakaian yang lebih homogen dan buku-bukunya…well, buku-bukunya yang entah mengapa selalu tampak banyak dan
berat.
Tidak pernah terbayangkan bahwa salah satu dari sosok yang
berseliweran di sana, tujuh tahun kemudian menjadi orang yang datang melamar
saya. Ketika teman yang memperkenalkan kami menyebutkan jurusan tempat dia
dahulu kuliah, saya hanya bisa tertawa kecil. Betapa, memang tidak ada yang
kebetulan dalam rencana Allah, hanya kita saja yang kadang tidak mampu mengenalinya
sebelum semuanya terangkai utuh.
Tidak ada yang kebetulan dengan selasar itu, atau bahwa
tanggal lahirnya hanya berselang satu hari dari bapak saya. Atau bahwa ternyata
dia dulu pernah sangat ingin kuliah di jurusan tempat saya, sebelum memutuskan
untuk bersikap lebih realistis dan memilih jurusan yang berbeda. Tak ada yang
kebetulan dengan cara Allah menyiapkan dia dan saya untuk menjadi pasangan
hidup. Dia dengan seorang sepupu yang menyandang down syndrome, dan saya yang memiliki seorang keponakan luar biasa
yang tumbuh indah dengan autisme-nya. Dan kami kemudian menjadi orang tua untuk
anak sulung dengan ADHD sebagai teman seumur hidupnya tanpa merasa asing
meski tak mudah.
Meski sekarang sudah lebih dari satu dekade kami menjadi
partner hidup, kadang hal-hal kecil masih mengejutkan saya secara menyenangkan.
Tidak ada yang kebetulan, serakan potongan yang semakin menjadi utuh. Dan dia
biasanya akan bilang, bahwa kami seperti potongan puzzle. Tidak ada yang sama
dan mungkin tampak aneh bentuknya, tapi tidak akan pernah jadi utuh tanpa satu
sama lainya.
Aah,,,that might
sound so corny… tapi saya tidak membantahnya dan memilih untuk
menyukainya. Lagi pula, saya ‘kebetulan’ merasa nyaman hanya dengan dia.
#30DWC#30DWCjilid11#day4.
Komentar
Posting Komentar