Radio yang Tak Pernah
Mati
Bagi saya, radio kamar adalah benda yang selalu lebih
menarik daripada televisi. Selain itu juga lebih bisa diandalkan sebagai
teman bekerja dibandingkan televisi atau gawai yang kini jadi bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan sebagian besar orang perkotaan.
Saya lebih menyukainya sebagai teman bekerja karena secara visual tidak mengalihkan
pandangan saya dari pekerjaan yang harus saya lakukan. Tangan saya masih bisa
terus bekerja, dan fikiran saya masih bisa cukup fokus karena tidak terpecah
oleh ‘paksaan’ untuk merespon. ‘Paksaan’
yang mungkin kerap datang dari suara notifikasi media-media sosial yang ada di
gawai kita. Bahkan jika tanpa suara pun, kerlip layar atau lampu notifikasi
cukup menggoda kita untuk mencari tahu ada apa.
Mendengarkan dengan utuh kadang menjadi hal sulit dilakukan
ketika kita terbiasa untuk dapat melewati sesuatu saat kita tidak menyukainya, to skip it too fast. Demikan pula dengan
membaca dengan utuh. Perilaku yang makin menjadi karena kebiasaan ingin
menengok semua kabar terkini dalam waktu yang bersamaan, kadang atas nama ‘multi-tasking’. Membaca sekilas kabar di
Facebook, menengok Instagram, melihat apa yang sedang
trending di kanal YouTube dan up-dates di serangkaian grup Whatsapp; jari begitu lincah dan pikiran
kita jarang tuntas menyerap setiap kabarnya. Sehingga tidak jarang dalam sebuah
forum pertanyaan diulang berkali-kali, atau sebuah kabar dibagikan tanpa
pemahaman yang tepat.
Mendengarkan siaran radio dengan suara penyiarnya membuat
kita merasa memiliki teman berbincang, walau kita sekedar menyahuti ocehan
penyiar itu dalam benak kita. Meski kita ada kalanya tidak menyukai pilihan
lagunya atau topik yang dibicarakan, tangan kita tidak merubah frekuensi radio
secepat telunjuk kita menyapu layar gawai untuk mencari kanal mana yang kita
suka. ‘Kesulitan’ yang mengajari kita, atau saya dalam hal ini, untuk lebih
sabar mendengarkan. Biarkan saja, sedikit lebih lama.
Ketika dahulu di awal keberadaan video klip dan kanal MTV
begitu populer di awal 80-an, keberadaan radio dianggap hanya tinggal
menghitung hari karena diduga orang akan segera melupakannya dan teralih
sepenuhnya menjadi penikmat visual video dan televisi. Lagu ‘Video Killed the Radio Star’ mewakili
keresahan atas pemikiran itu. Namun,
nyatanya, sampai kini radio tetap bertahan. Menurut pendapat saya, karena tidak
semua orang dapat menyukai sajian visual
yang intens.
Tidak semua merasa baik-baik saja saat dikepung oleh arus
visual yang kadang terlalu menyita perhatian. Bagi sebagian orang, radio dengan
suaranya yang keras kadang tidak sebising media sosial yang bisa tanpa suara.
Setidaknya demikian bagi saya. Saya
bukan seorang yang anti media sosial, saya menggunakan Whatsapp dan suka mengintip Facebook suami untuk mendapat kabar
terbaru dari grup sekolah anak-anak kami, atau sekedar melihat kanal You Tube yang saya minati.Tapi, radio selalu memiliki tempat
istimewa di hati saya dan mengajarkan saya untuk slow down the pace.
Dan malam itu saya biarkan kanal di radio saat diputarkan
sebuah lagu kekinian yang tidak terlalu saya kenali. Setelah satu lagu berlalu,
akan ada lagu yang relevan dengan lini masa saya. Atau obrolan tentang apa yang
terjadi saat ini di luar sana yang dihantar dari sudut pandang orang ketiga.
Teman yang menyenangkan dan tidak selalu terburu-buru.
‘And now we meet in an abandoned studio
We hear the playback and it seems so long
ago
And you remember the jingles used to go
You were the first one
You were the last one
…………….’
(video killed the radio star, Buggles)
#30DWC#30DWCjilid11#day3
Komentar
Posting Komentar