On-Line Shop dan Selembar Kaos Bergambar Che Guevara


On-line Shop, dan Selembar Kaos Che Guevara
*mengingat percakapan dengan seorang sahabat

Saya adalah tipe orang yang tidak terlalu suka pergi ke pusat perbelanjaan, apalagi jika tanpa tujuan yang jelas. Walaupun pernah ada masanya saya dan sahabat saya jalan-jalan ke mal hanya untuk melihat benda-benda yang dijual disana.  Biasanya kami kemudian membahasnya berdua dengan serius untuk kemudian menikmati tawa lepas kami atas keganjilan yang kami temukan. Saat itu kami memberi pembenaran untuk kegiatan kami itu sebagai cara mengasah indera berbelanja kami, walaupun sejujurnya, itu hanyalah kegiatan buang-buang waktu yang menyenangkan.

Selain itu, saya adalah tukang belanja dengan kemampuan menawar yang buruk. Saya paling menderita kalau harus berbelanja di tempat yang tidak mencantumkan harga jelas, alias harus tawar menawar dengan pedagangnya. Mungkin itu karena saya selalu ragu dengan kemampuan saya menebak harga yang pantas, dan karena tidak punya ‘poker face’ dalam menawar. Kalau kata suami saya, ‘you're such an open book’. Itulah sebabnya, belanja melalui online shop seperti pintu penolong bagi saya. Tinggal browsing, memilih-milih, lanjutkan jika pas dan berhenti kapan pun jika dirasa tidak sepadan. Tanpa harus berinteraksi langsung dengan manusia, dan tanpa harus merasa tak enak jika kita memutuskan tidak jadi membeli barangnya.

Dan malam itu saya ditemani secangkir kopi hangat berselancar mencari barang yang saya perlukan ; kerudung yang cukup cantik untuk dikenakan ke acara pesta pernikahan akhir pekan nanti. Seperti biasa, di saat-saat terakhir baru tersadar tidak punya baju yang pantas untuk sebuah acara formal, karena terlalu sering berkutat di dalam rumah. Dan wow…ternyata pilihannya beragam sekali. Mulai dari yang jilbab cantik yang sekedar menutup bagian rambut, hingga yang panjang anggun menutup hampir seluruh tubuh yang mengenakannya. Selesai memesan satu buah kerudung, saya kemudian tertarik berselancar melihat berbagai barang yang dijual daring.

Sebuah kaos berwarna hitam menarik perhatian saya. Sebetulnya itu bukan barang baru, kaos dengan wajah seorang Che Guavara di atasnya. Barang serupa pernah berseliweran pada medio 90-an, bersamaan dengan kaos berwajah orang yang dianggap tokoh pergerakan atau simbol perlawanan.  Hanya, entahlah, ada perasaan lucu saat melihat kaos itu berjejer manis secara daring dengan beragam harga, bahkan ada yang model peraganya rupawan dan terawat. Apakah itu sesuatu yang salah? Tidak juga, itu hanya sebuah kenyataan. Hal yang membawa saya mengingat kembali percakapan dengan sahabat saya itu, bahwa pasar dan kapital adalah hal yang sulit untuk dilawan.

Bahwa sebuah kontra budaya pada akhirnya bisa menjadi sebuah budaya baru dan menjadi stereotip saja. Itu sedang terjadi dengan hits-nya fashion muslim yang ceruknya begitu menggiurkan sehigga merk seperti Nike pun ikut disana. Itu telah terjadi pada nasib street wear yang pernah dikenalkan oleh Eddie Vedder melawan fashion merk ternama yang harganya selangit, hanya untuk kemudian menemukan merk ternama itu meluncurkan kemeja flannel ciri khasnya dengan harga yang tidak murah. Kaos bergambar Che Guavara pun mengalaminya juga, saat visual tidak lagi selalu diiringi dengan pemahaman yang sepadan dari penggunanya.

Sekali lagi, apakah itu salah? Tidak, itu seperti keniscayaan yang dulu dikatakan oleh Ettore Sottsass. Dia menghabiskan waktunya berkarya membuat berbagai produk dan arsitektur dengan cara yang melawan arus, untuk pada akhirnya menyadari kekuatan industri, market dan kapital adalah hal yang pada akhirnya menjadi penentu utama lingkaran benda. Saya tanpa sadar tesenyum mengingat ilustrasi suami saya tentang saat dia berpapasan dengan seorang mahasiswa di kendaraan umum. Mahasiswa dengan kaos Che Guavara-nya, mengeluh pada temannya tentang kiriman orang tua yang kali ini tersendat, dan sebelum berlalu dia memastikan pada temannya untuk membahas agenda kemahasiswaan di gerai cepat saji dengan logo M-nya itu. Ah, mungkin sekarang begitulah adanya, bukankah seorang politikus yang skala nasional pun pernah memakai topi berbintang satu yang identik dengan Vietkong di sebuah acara nasional. Maybe, it's just a mere visual sake.

Kembali ke cangkir kopi saya, saya hanya berfikir saat nanti tiba saatnya anak saya remaja dan hendak memakai kaos bergambar tokoh di atasnya, saya akan meminta dia mengenal tokoh itu dulu. Selanjutnya, apakah dia akan memakainya dengan kepala yang tegak karena mengamini nilai yang diwakili orang tersebut, atau melipatnya kembali ke dalam lemari….sepenuhnya dengan kesadaran not just for a mere visual sake.

#30DWC#30DWCJilid11#day2

Komentar