Dilema (tak) Penting Sofa dan Coffee Table
*Suatu sore bersama kawan lama

Memilih furnitur untuk melengkapi rumah kita merupakan hal yang menyenangkan. Terutama saat kita memiliki dana yang memungkinkan kita membeli yang paling kita suka. Namun, bagi sebagian besar orang  furnitur bukan barang yang murah, apalagi yang bukan pabrikan. Dan, tidak semua orang memiliki dana tak terbatas atau sekedar cukup untuk dibelanjakan. Dalam kondisi seperti itu, biasanya kita dilanda dilema.

Dilema mungkin terdengar berlebihan. Tapi jika kita pernah merasakan harus memilih di antara dua pilihan sulit, kata dilema mungkin pas adanya.  Dua benda yang sama cantiknya, sama-sama ingin dimiliki. Tapi ketika melongok isi dompet,ternyata tidak bisa memiliki keduanya. Yang mana yang harus dibeli? Sementara hati ingin memiliki keduanya. Hahaha. Kalau kata anak sekarang, rasanya galau.

Galau karena urusan belanja furnitur ini seperti yang sesaat dialami kawan lama saya. Dia terpikat dengan perangkat sofa dan sebuah coffee table untuk mengisi ruang tengahnya. Dua-duanya cantik dan memang sepertinya perlu dimiliki. Namun, dengan alokasi dana yang ada, tak mungkin bagi kawan saya untuk memiliki keduanya.

Seperangkat sofa three-seats dan single seat, dengan bantalan empuk serta upholstery yang cantik. Kawan saya itu merasakan permukaan kain penutupnya yang lembut. Kemudian mencoba duduk di atasnya, tersenyum dengan kenyamanan busa yang dirasakannya.  Mbak pramuniaga yang setia mendampingi kami pun ikut tersenyum. Untuk alasan yang berbeda. Dia tahu teman saya sudah jatuh cinta dengan sofa itu. Hanya masalah waktu saja untuk pembelian terjadi.

Tapi teman saya kemudian mengalihkan pandangannya ke coffee table di dekat sofa tersebut. Lagi-lagi dengan pandangan jatuh cinta. Dia mengagumi bentuknya yang simple tapi terlihat mahal…dan memang mahal adanya. Material kayu solid finishing natural gelap dipadu dengan material kaca 8mm dan sedikit aksen stainless. Senyum mbak pramuniaga makin cerah, mendukung kawan saya untuk memiliki keduanya. Pilihan serasi dan berkelas, ujarnya. Kawan saya mengerling ke arah saya dengan penuh makna. Aku berkelas kan. Seakan itu yang ingin dia katakan. Dan saya hanya mengangguk-angguk saja. Bukan teman berbelanja yang baik, saya jarang memberikan pendapat.

Lebih dari setengah jam dia menimbang-nimbang  ditemani mbak pramuniaga yang tetap sabar sambil membayangkan komisi yang besar dari pembelian ini. Tiba-tiba kawan saya itu melangkah jauh ke arah tumpukan rug (permadani tebal). Lalu dengan tanpa ragu dia menunjuk selembar rug dan sebuah coffee table mungil sebagai benda pilihannya. Ahaha..mengejutkan.  Mba pramuniaga pun sedikit tergagap. Barang yang akhirnya dibeli kawan saya itu bukan barang yang murah, tapi tetap saja harganya kurang dari seperempat harga seperangkat sofa dan coffee table tadi.

Selanjutnya awkward moment saat pembuatan nota pembelian. Kawan saya tidak menunjukkan jejak-jejak kegalauan meninggalkan dua item yang menawan hatinya tadi. Dan mbak pramuniaganya tetap melakukan tugas melayani dengan baik. Tapi, tentu saja entah apa yang ada di kepalanya tentang komisi besar yang tidak jadi didapat. Mungkin dia berkesimpulan kawan saya itu sekedar aneh. Yang jelas, ada saat hening di tempat pembuatan nota saat itu.

Not gonna say something ?”, kawan saya akhirnya bertanya sesampainya kami di rumahnya.
“Apa? Buat yang mana nih?” tanya saya tanpa mengalihkan pandangan dari komik Marvel miliknya.
“Kamu tahu, aku ga jadi beli yang dua itu.”
I know you,” jawab saya singkat.  Dia tertawa dan tidak membahasnya lagi.

Kami menghabiskan siang itu di pojokan ruang tamunya yang masih tanpa furnitur. Menunggu selembar rug dan coffee table mungil datang dikirim esok hari.Ya, saya tahu dia tidak akan membeli sofa dan coffee table itu. Dia mungkin sangat menyukai keduanya. Tapi dia tahu dengan dana yang ada tak mungkin memilikinya. Dia bukan pembelanja impulsif yang akan memaksakan diri untuk mendapatkan yang diinginkan. Dan yang terpenting di tahu yang dia butuhkan. 

Dia tahu dirinya yang hanya membutuhkan selembar permadani tebal yang nyaman untuk melengkapi bean chair kesayangannya, dan sebuah coffee table yang cukup untuk berdua saja. Perfect spot untuk menghabiskan sore dengan suaminya.

Well, mungkin begitu pula dalam hidup ya. Kita bisa terpesona dengan berbagai hal. Menginginkan banyak hal. Tapi di saat tidak mampu memiliki semua itu, nalar yang baik akan memberi jawaban. Jawaban yang membuat kita dapat menikmati hari tanpa beban dan dengan rasa puas. Sepuas teman saya dengan dua cangkir kopi dan setumpuk komik Marvel, menunggu suaminya pulang untuk menikmati bersama.



#30DWC#30DWCjilid11#day9



Komentar