Catatan Pinggir tentang Feminisme yang Tidak Diperlukan Lagi
*sebuah pendapat pribadi



25 Januari lalu saat saya membuka situs Google untuk memulai pencarian, sebuah doodle figur seorang wanita hadir di layar. Dia adalah Virginia Woolf, dan hari itu adalah tanggal kelahirannya.  Seorang novelis wanita terkenal asal Inggris. Cukup penting  tercatat dalam sejarah untuk bisa hadir di kotak pencarian muka situs yang dikunjungi  jutaan orang per harinya.

 Melihat doodle itu membuat saya ingat beberapa novel  Virginia Woolf yang pernah saya baca atau biarkan singgah di rak buku saya. Saya bukan penggemar Virginia Woolf, namun cukup untuk dapat mengerti mengapa dirinya sering dikaitkan dengan feminisme. Tulisannya kerap melanggar stereotip wanita pada zamannya. Keberanian untuk menunjukkan sisi pemberontakan terhadap stereotip wanita inilah yang mungkin dirasa relevan oleh para penggiat feminisme. Itu pula sebabnya jika kita googling tokoh berpengaruh feminisme, nama Virginia Woolf akan selalu ada sebagai salah satu tokoh gelombang awal feminisme.

Woolf sendiri dalam berbagai kesempatan  lebih suka merujuk dirinya sebagai seorang humanis. Secara akar pergerakan, menurut pendapat saya keduanya memiliki irisan, sama-sama mengejar hak dasar manusia. Feminisme mendorong pergerakan untuk mencapai kesetaraan bagi  wanita dalam berbagai aspek. Kesetaraan hak dalam berbagai sendi kehidupan seperti akses terhadap pendidikan, pekerjaan, politik maupun pemerintahan. Pemikiran dasar feminisme telah hadir sejak pertengahan abad ke-13 saat sebuah sekolah bagi perempuan hadir di Eropa hingga mencapai puncaknya di abad ke-20 dimana hampir di semua belahan dunia teradapat retasan ide feminis termasuk di Indonesia.

Sepanjang rentang  waktu itu feminisme relevan dengan upaya wanita untuk dilihat sebagai makhluk yang setara dengan pria. Kini, di saat sebagian besar wilayah dunia dengan tokoh-tokoh wanita hebatnya masing-masing telah mampu memberikan akses yang sama bagi wanita seperti halnya pria, feminisme mulai menjadi suatu wacana yang menurut saya tidak lagi on point. Di saat ini, sebagian besar masyarakat tidak perlu lagi pembelaan atas akses wanita. Melainkan pembelaan keadilan atas sesama manusia terlepas dari gender. Hal itulah mungkin yang membuat Woolf  merasa dirinya lebih relevan dengan humanisme.  Keadilan yang tidak membiarkan terjadinya standar ganda, untuk kepentingan terbaik manusia.

Harus diakui, bahkan di negara yang sudah maju dan dianggap paling demokratis pun standar ganda masih berlaku.  Standar ganda dalam hal apa pun akan terjadi ketika wanita dan pria tidak dirujuk sebagai  entitas dengan kelengkapan yang setara. To make it worse, kadang kaum wanita  meminta pemakluman atas dirinya di saat yang sama dia meminta kesetaraan. Dua hal yang bertentangan. Seperti berkata, saya sama denganmu tapi tolonglah saya karena saya perempuan.
Saya pribadi memandang  tidak perlu ada pemakluman atau pengistimewaan, melainkan aturan harus diberlakukan fair tanpa memandang gender. Bahwa dalam dunia pekerjaan wanita dan pria setara sebagai sesama manusia, dan kualitas serta kemampuan diri-lah yang menjadi pembeda. Dalam hal ini yang diperjuangkan bukan lagi masalah akses wanita, melainkan penilaian atas wanita secara adil sebagai  manusia seperti halnya pria.

Feminisme itu sesuatu yang tidak dibutuhkan lagi ketika semua orang bisa bernalar objektif dan membiarkan naluri dasar yang sehat serta sifat yang baik pada tempatnya. Tidak ada yang perlu diperjuangkan wanita untuk haknya, ketika masyarakat telah bisa meghasilkan generasi pria yang mengerti kewajibannya dengan baik.  Harmoni dan rasa hormat atas sesama makhluk Tuhan di bumi.
Dan pada titik ini, saya bisa melihat alasan Woolf merasa pergerakannya lebih relevan dengan humanisme dibandingkan feminisme. Terlepas dari itu semua, tak ada yang lebih utama daripada menjadi seseorang yang menghargai diri sendiri untuk dapat menghargai orang lain.


#30DWC#30DWCjilid11#day8




Komentar