A World of Doing
*mengingat boneka Profesor

Setelah sekian lama ditunda, akhirnya saya hari ini membereskan kotak-kotak  saya. Kotak-kotak ini berisi beragam catatan, buku dan segala hal yang berkaitan dengan kuliah dan kegiatan mengajar saya dulu. Ketika saya membuka kotak yang terakhir sesuatu yang lembut teraba oleh tangan saya. Sebuah boneka kelinci yang sudah mulai lusuh. Aah…boneka Profesor. Saya tersenyum mengingatnya.


Saya menamainya Profesor karena kerap mengajaknya bicara seakan-akan  sedang bicara dengan profesor kesayangan saya. Bicara, mengomel, atau tepatnya mengeluh ketika materi kuliah tidak bisa menyusup ke otak saya dengan baik. Atau ketika saya berharap memiliki insight seperti beliau saat ujung tesis saya rasanya tidak tampak jelas.

Hampir semua teman sesama mahasiswa saat itu takut dengan profesor tersebut. Hal yang wajar, karena memang beliau tegas dan kadang reaksinya tidak terduga. Namun saya tidak merasa takut. Segan, mungkin. Tapi tidak takut. Bagi saya beliau seperti seorang kakek. Seorang kakek yang galak tapi hangat dan suka memberi permen pada cucunya. Nah, saya seperti cucu yang mengharap permen itu. Dan permennya adalah pengetahuan yang beliau berikan.

Saya nrimo saja diomeli, toh sesudah itu beliau akan mendongeng hal-hal menarik  di bidang kami. Kalaulah ruang kelas bisa diubah seperti  Kapten Picard menggunakan holodeck di serial Startrek, mungkin saya akan merubah settingnya seperti ruangan minum teh yang hangat.

Satu percakapan yang tidak terlupakan terjadi di awal saya menjadi mahasiswa S2 beliau. Dia bertanya dalam bahasa Inggris bercampur Indonesia khas dosen jaman dulu, “Menurut Anda, dunia kita ini, a world of doing or a world of phrasing theory?”. Saat itu tanpa ragu (meski sebetulnya dalam hati ragu-ragu banget), saya menjawab , “ It’s a world of doing.” Jawaban yang tepat rupanya, karena beliau tersenyum senang. 

Meski saya menjawab dengan benar saat itu, pemahaman yang sesungguhnya datang belakangan seiring waktu. Ketika saya menyadari bahwa yang terpenting adalah mempraktekkan yang kita pelajari. Ketika apa yang kita pelajari bisa menjadi solusi untuk masalah yang ada. Bahwa orang menjadi hebat ketika mampu secara nyata melakukan sesuatu untuk orang di sekitarnya. Dibandingkan jika pemikiran kita berhenti di atas kertas bernama teori atau hipotesis.

Lantas apakah kita tidak memerlukan para pemikir pembuat teori? Atau apakah orang yang tidak bisa membuat karya yang langsung berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat itu berarti  a less good person?  Tidak juga. Semua diperlukan untuk saling melengkapi. Tapi,to  walk the talk is the best form of a man. Seorang pemikir yang tidak hanya bisa berputar di what and why, tapi juga how yang tepat adalah bentuk terbaik.

Saya bisa memahami bagaimana masyarakat biasa dapat menjadi lebih hebat dari seorang peneliti elit saat dia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Seperti yang dilakukan Mang Idin yang merevitalisasi Kali Pesanggrahan dan menjadikannya produktif bagi sekitarnya. Atau seorang penjahit otodidak yang memodifikasi penutup dada bagi ibu menyusui menjadi lebih bermanfaat bagi para ibu pekerja dibandingkan seorang desainer yang hanya berhenti sampai sketsa kasus  bagaimana meningkatkan kualitas hidup wanita kaum pekerja.

Teori bisa menjadi tak berguna saat berhadapan dengan kombinasi realitas tak terduga. Sebagaimana bagi seorang wanita setumpuk pengetahuan tentang menjadi seorang ibu tidak bisa mengalahkan praktek menjadi seorang ibu bagi anaknya masing-masing.  Setidaknya itu yang saya rasakan.  

Melihat boneka profesor di tangan saya, ada rasa rindu di hati. Rindu untuk membuat sesuatu lagi. Meski tidak berarti apa yang sedang saya lakukan saat ini pointless. Tetap, rasanya menyenangkan untuk bisa menjadi seseorang yang lebih bermanfaat. 



#30DWC#30DWCjilid11#day10

Komentar